Biogas Sebagai Sumber Energi Alternatif
July 19, 2011 By 2 Comments
Kelangkaan
bahan bakar minyak, yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia
yang signifikan, telah mendorong pemerintah untuk mengajak masyarakat
mengatasi masalah energi bersama-sama (Kompas, 23 Juni 2005).
Kenaikan harga yang mencapai 58 dollar Amerika Serikat ini termasuk
luar biasa sebab biasanya terjadi saat musim dingin di negara-negara
yang mempunyai empat musim di Eropa dan Amerika Serikat. Masalah ini
memang pelik sebagaimana dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam pertemuan dengan para gubernur di Pontianak, Kalimantan Barat,
tanggal 22 Juni 2005, dan mengajak masyarakat melakukan penghematan
energi di seluruh Tanah Air.
Penghematan ini sebetulnya harus telah kita gerakkan sejak dahulu
karena pasokan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi adalah sumber
energi fosil yang tidak dapat diperbarui (unrenewable), sedangkan
permintaan naik terus, demikian pula harganya sehingga tidak ada
stabilitas keseimbangan permintaan dan penawaran. Salah satu jalan untuk
menghemat bahan bakar minyak (BBM) adalah mencari sumber energi
alternatif yang dapat diperbarui (renewable).
Kebutuhan bahan bakar bagi penduduk berpendapatan rendah maupun
miskin, terutama di pedesaan, sebagian besar dipenuhi oleh minyak tanah
yang memang dirasakan terjangkau karena disubsidi oleh pemerintah. Namun
karena digunakan untuk industri atau usaha lainnya, kadang-kadang
terjadi kelangkaan persediaan minyak tanah di pasar. Selain itu mereka
yang tinggal di dekat kawasan hutan berusaha mencari kayu bakar, baik
dari ranting-ranting kering dan tidak jarang pula menebangi pohon-pohon
di hutan yang terlarang untuk ditebangi, sehingga lambat laun mengancam
kelestarian alam di sekitar kawasan hutan.
Sebetulnya sumber energi alternatif cukup tersedia. Misalnya, energi
matahari di musim kemarau atau musim kering, energi angin dan air.
Tenaga air memang paling banyak dimanfaatkan dalam bentuk pembangkit
listrik tenaga air (PLTA), namun bagi sumber energi lain belum kelihatan
secara signifikan.
Energi terbarukan lain yang dapat dihasilkan dengan teknologi tepat
guna yang relatif lebih sederhana dan sesuai untuk daerah pedesaan
adalah energi biogas dengan memproses limbah bio atau bio massa di dalam
alat kedap udara yang disebut digester. Biomassa berupa limbah dapat
berupa kotoran ternak bahkan tinja manusia, sisa-sisa panenan seperti
jerami, sekam dan daun-daunan sortiran sayur dan sebagainya. Namun,
sebagian besar terdiri atas kotoran ternak.
Teknologi biogas
Gas methan terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik (tanpa
udara) oleh bakteri methan atau disebut juga bakteri anaerobik dan
bakteri biogas yang mengurangi sampah-sampah yang banyak mengandung
bahan organik (biomassa) sehingga terbentuk gas methan (CH4) yang
apabila dibakar dapat menghasilkan energi panas. Sebetulnya di
tempat-tempat tertentu proses ini terjadi secara alamiah sebagaimana
peristiwa ledakan gas yang terbentuk di bawah tumpukan sampah di Tempat
Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat,
(Kompas, 17 Maret 2005). Gas methan sama dengan gas elpiji (liquidified
petroleum gas/LPG), perbedaannya adalah gas methan mempunyai satu atom
C, sedangkan elpiji lebih banyak.
Kebudayaan Mesir, China, dan Roma kuno diketahui telah memanfaatkan
gas alam ini yang dibakar untuk menghasilkan panas. Namun, orang pertama
yang mengaitkan gas bakar ini dengan proses pembusukan bahan sayuran
adalah Alessandro Volta (1776), sedangkan Willam Henry pada tahun 1806
mengidentifikasikan gas yang dapat terbakar tersebut sebagai methan.
Becham (1868), murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882), memperlihatkan
asal mikrobiologis dari pembentukan methan.
Pada akhir abad ke-19 ada beberapa riset dalam bidang ini dilakukan.
Jerman dan Perancis melakukan riset pada masa antara dua Perang Dunia
dan beberapa unit pembangkit biogas dengan memanfaatkan limbah
pertanian. Selama Perang Dunia II banyak petani di Inggris dan benua
Eropa yang membuat digester kecil untuk menghasilkan biogas yang
digunakan untuk menggerakkan traktor. Karena harga BBM semakin murah dan
mudah memperolehnya pada tahun 1950-an pemakaian biogas di Eropa
ditinggalkan. Namun, di negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber
energi yang murah dan selalu tersedia selalu ada. Kegiatan produksi
biogas di India telah dilakukan semenjak abad ke-19. Alat pencerna
anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900. (FAO, The Development and
Use of Biogas Technology in Rural Asia, 1981).
Negara berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan,
dan Papua Niugini, telah melakukan berbagai riset dan pengembangan alat
pembangkit gas bio dengan prinsip yang sama, yaitu menciptakan alat yang
kedap udara dengan bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna
(digester), lubang pemasukan bahan baku dan pengeluaran lumpur sisa
hasil pencernaan (slurry) dan pipa penyaluran gas bio yang terbentuk.
Dengan teknologi tertentu, gas methan dapat dipergunakan untuk
menggerakkan turbin yang menghasilkan energi listrik, menjalankan
kulkas, mesin tetas, traktor, dan mobil. Secara sederhana, gas methan
dapat digunakan untuk keperluan memasak dan penerangan menggunakan
kompor gas sebagaimana halnya elpiji.
Alat pembangkit biogas
Ada dua tipe alat pembangkit biogas atau digester, yaitu tipe
terapung (floating type) dan tipe kubah tetap (fixed dome type). Tipe
terapung dikembangkan di India yang terdiri atas sumur pencerna dan di
atasnya ditaruh drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk
menampung gas yang dihasilkan oleh digester. Sumur dibangun dengan
menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi
rumah, seperti pasir, batu bata, dan semen. Karena dikembangkan di
India, maka digester ini disebut juga tipe India. Pada tahun 1978/79 di
India terdapat l.k. 80.000 unit dan selama kurun waktu 1980-85
ditargetkan pembangunan sampai 400.000 unit alat ini.
Tipe kubah adalah berupa digester yang dibangun dengan menggali tanah
kemudian dibuat bangunan dengan bata, pasir, dan semen yang berbentuk
seperti rongga yang ketat udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan
setengah bola). Tipe ini dikembangkan di China sehingga disebut juga
tipe kubah atau tipe China (lihat gambar). Tahun 1980 sebanyak tujuh
juta unit alat ini telah dibangun di China dan penggunaannya meliputi
untuk menggerakkan alat-alat pertanian dan untuk generator tenaga
listrik. Terdapat dua macam tipe ukuran kecil untuk rumah tangga dengan
volume 6-10 meter kubik dan tipe besar 60-180 meter kubik untuk
kelompok.
India dan China adalah dua negara yang tidak mempunyai sumber energi
minyak bumi sehingga mereka sejak lama sangat giat mengembangkan sumber
energi alternatif, di antaranya biogas.
Di dalam digester bakteri-bakteri methan mengolah limbah bio atau
biomassa dan menghasilkan biogas methan. Dengan pipa yang didesain
sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan ke kompor yang terletak di
dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan
lain-lain. Biogas dihasilkan dengan mencampur limbah yang sebagian besar
terdiri atas kotoran ternak dengan potongan-potongan kecil sisa-sisa
tanaman, seperti jerami dan sebagainya, dengan air yang cukup banyak.
Untuk pertama kali dibutuhkan waktu lebih kurang dua minggu sampai
satu bulan sebelum dihasilkan gas awal. Campuran tersebut selalu
ditambah setiap hari dan sesekali diaduk, sedangkan yang sudah diolah
dikeluarkan melalui saluran pengeluaran. Sisa dari limbah yang telah
�?dicerna�? oleh bakteri methan atau bakteri biogas, yang disebut slurry
atau lumpur, mempunyai kandungan hara yang sama dengan pupuk organik
yang telah matang sebagaimana halnya kompos sehingga dapat langsung
digunakan untuk memupuk tanaman, atau jika akan disimpan atau
diperjualbelikan dapat dikeringkan di bawah sinar matahari sebelum
dimasukkan ke dalam karung.
Untuk permulaan memang diperlukan biaya untuk membangun pembangkit
(digester) biogas yang relatif besar bagi penduduk pedesaan. Namun
sekali berdiri, alat tersebut dapat dipergunakan dan menghasilkan biogas
selama bertahun-tahun. Untuk ukuran 8 meter kubik tipe kubah alat ini,
cocok bagi petani yang memiliki 3 ekor sapi atau 8 ekor kambing atau 100
ekor ayam di samping juga mempunyai sumber air yang cukup dan limbah
tanaman sebagai pelengkap biomassa. Setiap unit yang diisi sebanyak 80
kilogram kotoran sapi yang dicampur 80 liter air dan potongan limbah
lainnya dapat menghasilkan 1 meter kubik biogas yang dapat dipergunakan
untuk memasak dan penerangan. Biogas cocok dikembangkan di daerah-daerah
yang memiliki biomassa berlimpah, terutama di sentra-sentra produksi
padi dan ternak di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan
lain-lain.
Pembangkit biogas juga cocok dibangun untuk peternakan sapi perah
atau peternakan ayam dengan mendesain pengaliran tinja ternak ke dalam
digester. Kompleks perumahan juga dapat dirancang untuk menyalurkan
tinja ke tempat pengolahan biogas bersama. Negara-negara maju banyak
yang menerapkan sistem ini sebagai bagian usaha untuk daur ulang dan
mengurangi polusi dan biaya pengelolaan limbah. Jadi dapat disimpulkan
bahwa biogas mempunyai berbagai manfaat, yaitu menghasilkan gas, ikut
menjaga kelestarian lingkungan, mengurangi polusi dan meningkatkan
kebersihan dan kesehatan, serta penghasil pupuk organik yang bermutu.
Untuk menuai hasil yang signifikan, memang diperlukan gerakan secara
massal, terarah, dan terencana meliputi pengembangan teknologi,
penyuluhan, dan pendampingan. Dalam jangka panjang, gerakan pengembangan
biogas dapat membantu penghematan sumber daya minyak bumi dan sumber
daya kehutanan. Mengenai pembiayaannya mungkin secara bertahap sebagian
subsidi BBM dialihkan untuk pembangunan unit-unit pembangkit biogas.
Melalui jalan ini, mungkin imbauan pemerintah mengajak masyarakat untuk
bersama-sama memecahkan masalah energi sebagian dapat direalisasikan.
0 komentar:
Posting Komentar